Kecerdasan Buatan Ubah Industri Musik: Peluang Inovasi atau Ancaman Bagi Musisi?

Perkembangan teknologi  Artificial Intelligence (AI) telah menjangkau berbagai aspek kehidupan, termasuk industri musik. AI adalah kemampuan mesin untuk meniru kecerdasan manusia seperti berpikir, belajar, dan mencipta, kini digunakan secara luas untuk menyusun melodi, menulis lirik, bahkan meniru suara penyanyi manusia dengan presisi tinggi. Di tengah arus pesatnya digitalisasi, kemunculan AI dalam dunia musik membawakan dampak yang bersifat ganda dalam memberi peluang kreatif baru, namun disisi lain dapat menimbulkan tantangan serius bagi para musisi.

Salah satu gejala paling mencolok dari novasi AI dalam musik adalah kemunculan karya-karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh sistem buatan. Sebagai contoh yang cukup viral adalah “The Velvet Sundown” yan merupakan sebuah proyek musik yang tidak memiliki anggota manusia sama sekali. Lagu-lagu mereka yang diunggah di berbagai platform streaming, berhasil menembus jutaan pendengar sebelum akhirnya publik menyadari bahwa suara dan musik tersebut diciptakan sepenuhnya oleh AI. Banyak pendengar merasa tertipu olehnya dan sejumlah musisi juga mulai menanggapi hal tersebut sebagai bentuk kemunduran terhadap nilai orisinalitas dalam berkarya.

CEO Recording Academy (Grammy Awards) yaitu Harvey Mason Jr., menyampaikan keprihatinannya terhadap perkembangan tersebut. Ia menegaskan bahwa meskipun AI dapat membantu musisi dalam proses kreatif, penggunaannya yang tidak terkontrol bisa menjadi ancaman besar. “AI memiliki potensi untuk membantu seniman, tapi jika dibiarkan tanpa regulasi, teknologi ini bisa mengaburkan garis antara ciptaan manusia dan mesin,” ujarnya dalam wawancara bersama The Wall Street Journal. Mason pun mendorong pentingnya perlindungan hukum yang jelas bagi para kreator, dan mendukung pengesahan “No Fakes Act”, sebuah regulasi yang melarang penggunaan suara atau wajah artis tanpa izin mereka.

Banyak musisi merasa bahwa teknologi AI yang dapat meniru gaya vokal seseorang dapat berpotensi mencuri identitas artistik mereka. Salah satu band indie ternama “Deerhoof” bahkan memutuskan menarik seluruh karya mereka dari Spotify, sebagai bentuk protes terhadap keterlibatan platform tersebut dalam pengembangan teknologi militer berbasis AI. Drummer band tersebut, Greg Saunier, menyatakan, “Kami tidak ingin karya kami digunakan untuk mendanai teknologi yang melukai atau menggantikan manusia. Musik seharusnya untuk kehidupan, bukan alat destruktif”.

Di Indonesia sendiri seniman senior yaitu Yovie Widianto menyampaikan keyakinannya bahwa AI tidak akan mampu menandingi kekuatan emosi manusia saat mencipta musik. “Saya percaya sampai ada AI yang secanggih apa pun, tidak akan mampu menggantikan kekuatan hati yang ada di kalian semua,” ujarnya saat diwawancara Medcom . Yovie pun menekankan pentingnya keunikan dan keotentikan gaya bermusik untuk membuka ruang kreatif yang menantang kemampuan AI.

Dukungan kritis juga datang dari musisi dan aktivis seperti Febrian Nindyo (gitaris HIVI! dan Sekjen FESMI), yang menyoroti dampak langsung AI pada sektor produksi rekaman. “Ketika kita berdialog dengan teman-teman musisi, yang paling terkena dampak secara langsung sekarang dan paling concern ada di sektor produksi. Apalagi dengan aplikasi terbaru yang sekarang, itu sudah bisa membuat musik dari nol, sudah bisa membuat musiknya dan lagunya juga,” jelasnya dalam diskusi mengenai isu keamanan kerja musisi.

Selain hal tersebut, tentunya AI dapat menjadi ancaman hak cipta dan royalti juga   terdapat kekhawatiran mengenai kualitas artistik. Banyak kritikus menyebut musik buatan AI sebagai “generik dan tak berjiwa”, meskipun algoritmanya meniru ritme dan struktur lagu populer dengan sangat terstruktur. Musik yang diproduksi oleh mesin tentu akan kurang memiliki kedalaman emosi dan pengalaman hidup yang menjadi ciri khas tersendiri dari karya manusia.

Saat ini, berbagai lembaga di Amerika Serikat dan Eropa juga tengah menyusun kerangka hukum baru untuk mengatur penggunaan AI dalam industri kreatif, termasuk musik. Akademi Rekaman dan sejumlah asosiasi musisi terus mendorong agar platform seperti Spotify, YouTube, dan Apple Music lebih transparan dalam mengidentifikasi konten berbasis AI. Dengan adanya  pro dan kontra terhadap kehadiran AI dalam industri musik tentu menjadi realita yang tak bisa dihindari. Tantangannya saat ini adalah bagaimana menjadikan teknologi tersebut sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti. Kolaborasi antara inovator dan musisi menjadi kunci utama dalam menjaga agar dunia musik tetap hidup, manusiawi, dan tetap bermakna di tengah kecanggihan zaman.

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *